Selasa, 18 Februari 2014 | By: DIAN - NIDA - BLOG

Cerpen

“D-I-O”

Oleh: Dian Nur Amalia


Kita masih bersama. Itu hal yang paling menenangkan hatiku sejak pertama kali aku bertatap muka dengannya. Mengapa? Karena dia adalah Dio. Lelaki berperawakan tinggi, bertubuh kekar dan tegap, serta berdada bidang itu mencuri sebagian hatiku yang masih tersisa sejak hilangnya Dio. Dio yang menghilang adalah Dio kekasihku. Sebulan setelah ia menghilang tanpa jejak, aku menemukan Dio yang baru. Dio yang tidak jauh lebih tampan, tidak jauh lebih pintar, dan tidak jauh lebih perhatian ketimbang Dio-ku. Aku bersyukur masih bisa bersama dia, karena aku punya ambisi lain yang takkan pernah kubongkar ke siapa pun. Ambisi yang kupendam untuk kulumat dalam kenyataan. Aku akan menemukan Dio-ku lagi!
Perhatian adalah hal mustahil yang diberikan Dio kepada semua orang, termasuk kepadaku. Ia begitu dingin. Bahkan, lebih dingin dari es batu bersuhu minus seratus derajat celsius! Sangat dingin! Aku malas menyapanya, tapi aku tak pernah bosan memandang wajahnya! Mengapa? Karena namanya Dio!
Dio adalah sebuah nama yang bukan sekedar nama buatku. Dio mengandung sebuah sejarah. Dulu, ayahku pernah menjadi seorang pelaut. Di saat gelombang tinggi, ia berlayar menuju ke tengah lautan. Di sana, ayah menemukan segerombolan ikan yang berlimpah. Ayah girang bukan main. Saking girangnya, ayah sampai lupa kalau ia berada di atas perahu yang kapan pun bisa oleh tersapu gelombang. Ayah nyaris tertelan gelombang. Ketika ayah akan menjaring gerombolan ikan, seseorang dari arah tak terduga menaiki sebuah perahu karet yang rasanya mustahil berada di tengah lautan yang jauh dari daratan. Orang itu melambaikan tangannya kepada ayah. Ayah tersenyum dengan heran. Orang itu mendekati perahu ayah dan berbicara panjang lebar kepada ayah. Rupanya ia adalah korban kapal tenggelam yang selamat dan sedang mencari daratan. Ia sudah beberapa hari tinggal di lautan lepas. Ia makan ikan mentah yang dipungutnya ketika ikan berlimpah. Jika tidak, ia hanya meminum air laut yang asin. Sungguh miris ayah mendengar cerita orang itu. Ayah tak tega meninggalkan orang itu sendirian. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengajak orang itu ke daratan.
Ayah dan lelaki paruh baya itu semakin hari semakin akrab dan tanpa sekat. Mereka seperti membangun dunia dalam batas yang mereka buat sendiri. Ayah selalu lupa menanyakan nama lelaki itu. Hingga suatu hari, saat ayah hendak melaut lagi, ia menemukan sepucuk surat di kamar lelaki paruh baya itu.
Terima kasih atas bantuanmu. Aku takkan melupakanmu, kawan. Jagalah wanita yang ada di foto yang sekarang kau pegang ini. Aku percaya padamu. Kau percaya aku kan? Jagalah ia dengan hatimu…
Salam hangat,
DIO
Ayah mengerutkan dahi. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia tak mengenali foto wanita yang sekarang ada di tangannya. Ia tak mengerti apa maksud kawannya itu. Ayah bingung. lalu, kepada siapa aku harus bertanya? Pikirnya.
Hampir seminggu ini ayah memutuskan untuk tidak melaut. Ia menyusuri kampung-kampung di tepian pantai demi menemukan wanita yang dimaksud kawannya yang menghilang secara misterius itu. Ayah mencari tanpa kenal putus asa. Tak jarang, ayah hanya beristirahat empat jam dalam sehari. Bahkan, makan dan minum pun tidak teratur. Semuanya berantakan. Hidup ayah seperti terombang-ambing di atas keadaan yang kian menghimpit. ayah benar-benar telah menjadi budak. Ya, ayah beralih pekerjaan dari melaut ke mencari wanita misterius!
Tubuh ayah ceking tak terurus. Rambut ayah panjang sebahu. Ayah seperti seorang seniman jalanan sejati. Ayah tak pernah memperhatikan dirinya sendiri. Ayah yang sendiri, semakin sendiri karena tak kunjung menemukan harta karun yang terpendam entah di belahan bumi mana.
Keterpurukan ayah lenyap ketika diumumkan bahwa telah ditemukan seorang wanita dengan ciri-ciri yang sama dengan wanita dalam foto pemberian lelaki bernama Dio itu. Ternyata wanita itu bernama Sandra. Sayangnya, wanita itu telah meninggal dunia. Ia meninggal sesaat setelah melahirkan bayinya. Bayi hasil perkawinannya dengan seorang lelaki bernama Dio!
Ayah frustasi. Pencariannya seperti sia-sia belaka. Demi membayar kepercayaan Dio, ayah rela merawat bayi lucu yang masih merah itu. Bayi itu dinamainya Dio!
Begitu banyak Dio di bumi ini. Seperti mencuplik sebuah teori dari Charles Darwin tentang seleksi alam, Dio rupanya terserang sindrom “seleksi alam” itu! Kondisi Dio kecil lambat laun melemah. Mungkin ia rela mengalah demi jutaan Dio yang ada di seluruh dunia. Dio akhirnya terseleksi oleh alam dengan tenang!
Begitu panjang riwayat “DIO” dalam kehidupanku dan orang-orang sebelumku. Karena sejarah hidupnya tentang Dio yang amat berkesan baginya pun ayah selalu mendesakku untuk mencari pacar yang bernama Dio. Anehnya, aku tak pernah kesulitan menemukan seorang Dio.
Begitu melimpahnya Dio. Sampai-sampai hidupku dikelilingi oleh jutaan Dio. Mulai dari kakekku, mantan pacarku, tukang ojek depan rumah, sampai tukang kebunku pun namanya Dio!
Dari sekian banyak Dio, kurasa hanya satu Dio yang paling “berbeda”! Dio itu sekarang ada di sampingku. Ia memandangku dengan pandangan semu. Ekspresinya masih saja dingin. Namun, dia tak pernah menolak jika aku menemaninya menghabiskan waktu kesendiriannya. Ya, ‘kedinginannya’ membuatnya seperti terasing. Aku tak mau kehilangan Dio lagi. Cukup Dio-ku yang terseleksi oleh alam. Jangan sentuh lagi Dio yang ini. JJJ 


0 komentar: