Selasa, 04 Februari 2014 | By: DIAN - NIDA - BLOG

NOSTALGIA SMA

Dengan menurunkan sedikit rasa gengsiku, aku memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Teman SMA ku ini emang orang yang sedikit unik menurutku. Banyak hal darinya yang tidak aku tahu. Banyak pula cerita lalu yang belum bisa kunalar dengan logika hingga saat ini. Kami memutuskan untuk bertemu, alias aku silaturahim ke rumahnya ceritanya. Sesampainya di sana, aku disambut oleh segelas jus ekstrak markisa asli. Rasanya... Asem manis gimana gitu. Ya seperti kehidupan inilah... kalo manis aja, atau asem aja jadi flat banget, nggak ada gregetnya. 
Banyak hal yang kita bicarakan. Mulai dari komentar-komentarnya tentang gaya berpakaianku yang nonmainstream, hingga masa lalunya yang kurang mengenakkan. Ada satu hal kulontarkan dengan perlahan dan tanpa kuduga dia sangat antusias. Hal itu memang bersifat agak sensitif jika banyak orang tahu, mungkin cukup aku dan dia serta orang-orang tertentu saja yang bisa menerima topik pembicaraan kami ini. Dia banyak berkomentar tentang apa yang kulontarkan, bahkan dia seperti menempatkan dirinya pada posisiku saat itu. Banyak keadaan sulit yang terjadi setelah semua pengetahuan itu kuterima, tapi hal sulit itu adalah sebuah pilihan. Lalu bagaimana jika sudah ada pilihan tapi pilihan tersebut justru sama sekali bukan suatu pilihan yang harus kupilih? Itu hal yang sulit bagiku.
Dia menceritakan diorama kampusnya, begitu juga aku. Dia bercerita berbagai macam bentuk manusia yang ada di sekitarnya selama di kampus, mulai dari borjuis sampai kalangan menengah ke bawah. Aku bercerita tentang diriku yang tambah cerewet setelah jadi anak kuliahan, pengalamanku, teman-temanku di kampus, dan berbagai hal yang kualami selama di fakultas peternakan. Dia yang mendengar ceritaku langsung tertawa ketika aku bercerita kejadian yang nantinya akan kualami, semalaman melototin tingkah laku sapi sambil mengontrol feses dan urin yang keluar. Dia bahkan tertawa seperti takjub dengan sesuatu yang tidak pernah ada di benaknya tentang peternakan. Aku senang karena bisa membuat dia sedikit lebih tahu, betapa detailnya bidang yang kupelajari.
Menjelang siang, kita memutuskan untuk having lunch alias makan siang di foodcourt. Disana, aku memesan nasi goreng hotplate dan coffee choco caramel, sedangkan dia memesan mi goreng hotplate dan capucino coffee. Kami menikmati makan siang sembari ngobrol bak sudah bertahun-tahun tak berjumpa. Dia kembali bercerita tentang temannya yang juga teman SMA kita dulu, kost-annya, cewek-cewek dan cowok-cowok di kampusnya, sampai cucian baju (masalah utama anak kost) pun kebahas juga. Begitu pula aku, Aku menceritakan pengalamanku menjadi guru privat anak SMA yang honornya masih belum seberapa, tentang proyek konsorsium, tentang harga makanan yang murah meriah di Yogya, sampai introgasi dia soal someone. hehe (yang itu nggak perlu disebutin). 
Selepas makan siang, dia minta aku nganterin dia buat nyampulin buku di tempat fotokopian. Di sana, kita ngobrol lagi (biasalah cewek kalo nggak ngobrol mau ngapain? bengong aja?). Yang kita bicarakan sekarang mengenai buku. Buku tebal ala anak kedokteran. Ya, buku yang dia sampulin itu kira-kita tebalnya sepuluh senti dan aku nggak pernah bermimpi bakalan lunas baca buku setebal itu. Kalo dia mah, nggak usah diraguin lagi, kan calon dokter. Hehe. 
Setelah sedikit intermezo tentang bukunya, kita tetap melanjutkan pembicaraan. Kali ini menyangkut masa lalunya. Dulu, tepatnya dua tahun yang lalu dia pernah mau disidang oleh teman-teman sekelasku karena dugaan penyimpangan. Teman-temanku menduga gambar yang katanya dia gambar bukanlah karya originalnya alias buatan orang lain. Mereka protes karena nilai mapel seninya selalu bagus karena gambarannya yang sangat mendekati perfect. Namun, dasar dari tuduhan mereka itu karena mereka nggak pernah liat dia menggambar, timbullah curiga buta itu. Dia yang kutanya tentang alasannya nggak pernah gambar di depan orang lain menjawab kalau memang dirinya nggak bisa menggambar dilihatin orang banyak. Ya semacam kalau belajar gitu lah, perlu konsentrasi penuh. 
Nah, itulah akhir perbincanganku dengan dia. Untuk dia yang di sana... Hopefully you'll enjoy read this! Untuk pembaca yang lain, hikmah yang bisa diambil yaitu jangan pernah menyepelekan sebuah pertemuan, karena dengan pertemuan, meskipun singkat bisa mendatangkan kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Saya DNA, Salam Semangat!